SEORANGPENGGUNA TELAH BERTANYA 👇 Sebutkan ciri ciri bebek jantan dan betina INI JAWABAN TERBAIK 👇 Menjawab: Penjelasan: Ukuran tubuh bebek jantan dewasa lebih besar dari bebek betina. Selama musim kawin, warna bulu bebek jantan tampak lebih cerah, sedangkan bulu bebek betina tampak kusam. Suara bebek jantan cenderung lembut atau tidak keras, namun suara bebek []
Burung Gelatik Batu jantan dan betinaOn Kicau – Memelihara burung-burung kecil memang sangat menyenangkan karena selain rata-rata harganya lebih murah dibanding burung-burung berukuran besar, burung-burung kecil juga lebih mudah dalam perawatannya. Burung kecil juga tidak mudah stress dan bisa cepat bunyi meskipun dipelihara dari berukuran kecil juga tidak memerlukan kandang yang berukuran besar sehingga mudah dalam penempatannya dan lebih mudah ketika dibawa kemana-mana meskipun dengan mengendarai sepeda satu burung kecil yang cukup populer dan banyak dipelihara oleh para Kicau Mania adalah burung Glatik Batu atau Glatik Watu. Burung ini adalah burung kicauan pemakan serangga yang memiliki ukuran tubuh kecil hampir seukuran dengan burung Prenjak dan burung juga Cara merawat burung Ciblek bakalan agar cepat bunyiBurung Glatik Batu/Glatik Watu/Glatik Wingko banyak dipelihara oleh para Kicau Mania karena burung ini memiliki suara kicauan yang nyaring dan merdu. Burung ini juga sering dijadikan sebagai burung masteran untuk memperkaya materi isian burung-burung lain seperti burung Kacer, Murai Batu, Cucak ijo, Jalak Suren, dan burung-burung burung Glatik Batu yang banyak dipilih untuk dipelihara oleh para penggemar burung ocehan adalah yang berjenis kelamin jantan karena lebih rajin berkicau dan suaranya lebih nyaring serta labih bervariasi dibanding burung Glatik Batu untuk membedakan jenis kelamin burung Glatik Batu memang agak sulit, terutama bagi para penggemar burung pemula karena antara burung Glatik Batu jantan dan burung Glatik Batu betina memiliki bentuk fisik dan warna bulu yang hampir serupa. Tapi jika diperhatikan dengan lebih seksama sebetulnya ada beberapa ciri-ciri yang bisa dikenali membedakan antara burung Glatik Batu jantan dan ini beberapa ciri-ciri perbedaan antara burung Gelatik Batu jantan dan betina1. Burung Gelatik Batu jantan memiliki garis hitam yang tebal dan tidak terputus dari leher sampai pangkal ekornya, sedangkan burung Glatik Batu betina memiliki garis hitam yang tipis dan putus-putus dibeberapa bagian sampai sebatas Postur tubuh burung Glatik Batu jantan terlihat lebih panjang dan tegak gagah, sedangkan postur tubuh burung Gelatik Batu betina terlihat lebih pendek atau Bulu-bulu yang berwarna hitam dibagian kepala dan pada garis dada burung Glatik Batu jantan tampak lebih tegas dan mengkilap, sedangkan bulu-bulu warna hitam pada burung Gelatik Batu betina tampak agak Meskipun sama-sama bisa gacor, tapi suara burung Glatik Batu jantan terdengar lebih keras dan nyaring serta lebih bervariasi, sedangkan suara kicauan burung Glatik Batu betina cenderung monoton dengan volume yang kurang keras. Burung Glatik Batu jantan juga lebih rajin bunyi dan cepat alam bebas burung Glatik Batu biasa memakan ulat, serangga-serangga kecil, dan binatang-binatang kecil lainnya. Tapi ketika dipelihara didalam kandang sebaiknya burung dilatih untuk makan voer untuk memudahkan dalam perawatan hariannya, sehingga kita tidak repot untuk menjaga ketersediaan pakan Gelatik Batu atau Gelatik Wingko termasuk burung kicauan yang mudah dirawat dan cepat beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga burung ini bisa cepat bunyi meskipun dipelihara dari bakalan tangkapan jugaCara merawat burung Glatik Batu bakalan agar cepat bunyiTips perawatan burung Glatik Jawa/Gelatik Belong dan cara menangkarkannyaDemikian sedikit informasi tentang ciri-ciri perbedaan burung Glatik Batu jantan dan betina paling akurat yang dapat kami sampaikan pada artikel kali ini. Untuk informasi lain seputar burung kicauan, dapat dibaca pada artikel On Kicau bermanfaatTerima kasih
Belakangan, nama ikan gabus menjadi sangat populer dikalangan masyarakat Indonesia. Karena konon ikan ini mempunyai banyak manfaat yang sangat baik untuk kesehatan tubuh manusia. Selain bergizi, ikan ini juga banyak difungsikan sebagai ikan hias. Maka tidak heran ikan satu ini memiliki harga jual yang lumayan tinggi. Ada baiknya kita mengenal lebih dekat ikan unik satu ini. Agar tidak salah pilih, kita akan bagikan ciri-ciri ikan gabus. Berikut Ini Adalah ciri-ciri ikan gabus 1. Kepal Bentuk kepala dari ikan pemangsa ini memang sedikit mengerikan. Bentuknya pipih seperti ular dengan mulutnya besar menganga. Memperlihatkan gigi-giginya yang besar dan tajam. Diatasnya terdapat sisik-sisik yang semakin membuatnya identik dengan ular. Makanya di dunia barat ikan ini dijuluki “Snake Head” atau si kepala ular. Artikel terkait Ciri Ciri Ikan Nilem 2. Tubuh Beberapa orang beranggapan tubuh dari ikan gabus ini mirip dengan ikan lele. Namun tubuh dari ikan gabus lebih bulat dan memanjang. Siripnya berada di atas tubuhnya, dari belakang kepala, memanjang hingga sirip ekor yang membulat di ujungnya. Jika disentuh, tubuhnya memiliki permukaan yang licin. 3. Warna Ciri ciri ikan gabus berdasarkan warnanya adalah, dari atas ikan ini bernuansa gelap. Warnanya hitam kecoklatan atau kehijauan. Namun pada bagian bawah perutnya, ikan ini berwarna putih dan sedikit kecoklatan. Lalu di bagian samping terdapat corak motif abstrak yang mendominasi. Artikel terkait Ciri Ciri Ikan Patin 4. Ukuran Ciri-ciri ikan gabus yang berikutnya adalah ukuranya. Pada ukuran terbesarnya, ikan gabus bisa mencapai panjang 80 cm sampai 1 meter. Ukuran yang cukup besar untuk ikan air tawar. Sedangkan beratnya sendiri pada ukuran yang mencapai 1 meter, bisa mencapai 5kg. 5. Habitat Beberapa ahli percaya bahwa ikan gabus adalah spesies asli Indonesia. Mereka adalah ikan air tawar yang biasa hidup di tempat yang berair tenang seperti danau, waduk, atau rawa-rawa. Habitat asli mereka adalah air yang keruh dan agak kering. Di Indonesia sendiri ikan gabus bisa dengan mudah ditemukan di perairan Kalimantan hingga Sumatra. Artikel terkait Ciri Ciri Ikan Sepat 6. Makanan Ikan ini biasa disebut ikan predator, karena mereka adalah hewan karnivora/ memakan hewan lain. Hewan ini tergolong hewan yang rakus, ikan ini akan memakan semua yang ada dalam jangkauanya, seperti sesama ikan, kepiting, katak, udang dan hewan air lainya. Bahkan hewan seperti cacing, serangga dan hewan darat lainya. Karena mereka mampu hidup dani darat dengan waktu yang cukup lama. 7. Telur Ikan gabus pada musim kawin akan menyiapkan sarang di tepian perairan. Populasi dari ikan ini sangat luar biasa, karena konon si betina mampu bertelur hingga butir dalam setahun. Telur yang sudah menetas akan menghasilkan anak ikan berwarna jingga bergaris hitam. Mereka akan berenang secara kelompok untuk bergerak mencari makan dan diawasi oleh induknya. 8. Kebiasaan Dalam mencari makan, predator ini adalah hewan yang sangat agresif. Ikan ini akan memburu mangsa yang berdiam diri di sekitar tanaman air. Cara ini dilakukan agar mereka bisa menghindari penglihatan mangsanya. Dengan cepat dan tiba-tiba, ikan ini akan berenang cepat ke arah mangsanya. Ketika mereka telah berhasil mendapatkan mangsanya, ikan ini menelannya langsung. Hal ini bisa mereka lakukan karena mulutnya yang lebar. 9. Bertahan Hidup Ciri-ciri ikan gabus dalam bertahan hidup merupakan sesuatu yang cukup unik. Mereka bisa hidup cukup lama di daratan, bahkan mereka juga bisa berjalan di daratan. Khususnya di musim kemarau pada malam hari. Hal ini disebabkan oleh semacam organ labirin yang mereka miliki, membuatnya mampu bernapas langsung dari udara.
Nahpoint yg kedua yaitu membedakan jantan dan betina dari segi fisiknya mulai dari bentuk paruh, kepala kemudian postur tubuhnya ya. Yang pertama adalah paruhnya, Paruh merpati jantan itu lebih lebar dan lebih tebal kemudian cenderung lebih pendek daripada merpati betina, kalian bisa lihat gambar merpati betina dan jantannya disini : Índice1 DADOS BRASILEIROS 2 VETOR, ETIOLOGIA E TRANSMISSIBILIDADE 3 DIAGNÓSTICO 4 DIAGNÓSTICO DIFERENCIAL 5 TRATAMENTO da malária6 PREVENÇÃO E CONTROLE CONTROLE DA POPULAÇÃO DE ROEDORES A malária é uma doença infecciosa cujo agente etiológico é um parasita do gênero Plasmodium. As espécies mais importantes associadas à malária humana são Plasmodium falciparum, P. vivax, P. malariae e P. ovale. A transmissão natural da malária ocorre por meio da picada de fêmeas infectadas de mosquitos do gênero Anopheles, sendo mais importante a espécie Anopheles darlingi, cujos criadouros preferenciais são coleções de água limpa, quente, sombreada e de baixo fluxo, muito frequentes na Amazônia brasileira. É uma doença febril aguda por protozoário do gênero plasmodium restrita preferencialmente a algumas áreas geográficas estados da região Norte e Centro- -Oeste e viajantes internacionais de locais de risco África principalmente. Dados da Organização Mundial da Saúde OMS mostram que seu impacto sobre as populações humanas continua aumentando ocorre em mais de 90 países, pondo em risco cerca de 40% da população mundial e estima-se que ocorram de 300 a 500 milhões de novos casos, com média de um milhão de mortes por ano. Representa, ainda, risco elevado para viajantes e migrantes infectados provenientes de áreas de transmissão e que venham adoecer em áreas não endêmicas. Importante doença para se considerar como diagnóstico diferencial de quadro febril agudo em viajantes que voltam de áreas endêmicas. Um outro problema atual relacionado a doença é a crescente resistência a drogas antimaláricas no mundo. Não esquecer doença de notificação compulsória! DADOS BRASILEIROS Segundo a OPAS Organização Pan-Americana da Saúde, a malária avança na região amazônica do Brasil. Em 2016, o país registrou casos da doença em nove estados. Em 2017, o número chegou a valor que representa um aumento de 48%. A unidade federativa mais afetada é o Amazonas, com cerca de 74 mil ocorrências da patologia no ano passado. Em 2016, foram aproximadamente 45 mil casos. O crescimento ocorreu depois de seis anos de queda – em 2016, o Brasil registrou o menor número de casos em quarenta anos, o que foi visto como um grande sucesso no combate à doença. As tendências da região amazônica acompanham a expansão da malária nas Américas identificada pela OPAS em sua atualização epidemiológica. Não há uma explicação definitiva, apenas hipóteses. Uma delas é que a malária está aumentando no mundo todo, não só no Brasil, por algum motivo ainda desconhecido. Em 2016, os casos de malária subiram 2% nos 91 países analisados pela Organização Mundial de Saúde. Ainda não há dados de 2017. Condições de vulnerabilidade e pobreza são alguns dos fatores que explicam o atual avanço da malária. Certas atividades trabalhistas e econômicas, como a mineração, a extração de produtos naturais e a agricultura, aumentam o risco de exposição das populações aos vetores nas áreas com transmissão da doença. Populações migrantes são grupos particularmente vulneráveis, devido às condições habitacionais e à falta de proteção social. VETOR, ETIOLOGIA E TRANSMISSIBILIDADE É causada por quatro espécies P. falciparum, P. vivax, P. malariae, P. ovale. Os vetores são do gê- nero Anopheles e geralmente têm hábitos noturnos. Período de incubação variando de 7 a 28 dias. O principal reservatório é o homem, cujo tratamento é fundamental para o controle da doença. No Brasil a maior parte dos casos de malária são do P. vivax. Os vetores são os mosquitos pertencentes ao gênero Anopheles, encontrado picando no interior e nas proximidades das residências. Modo de transmissão Por meio da picada da fêmea do mosquito Anopheles, infectada pelo Plasmodium. Os vetores são mais abundantes nos horários crepusculares, ao entardecer e ao amanhecer. Todavia, são encontrados picando durante todo o período noturno, porém em menor quantidade em algumas horas da noite. Não há transmissão direta da doença de pessoa a pessoa. Raramente pode ocorrer a transmissão por meio de transfusão de sangue contaminado ou do uso compartilhado de seringas contaminadas. Mais rara ainda é a transmissão congênita. CICLO DE VIDA Tudo começa com a picada do mosquito fêmea o macho não vive tempo suficiente para que se complete o ciclo. Este, antes de sugar o sangue, injeta a sua saliva que contém a forma infectante que se chama esporozoíto. Esses esporozoítos desaparecem rapidamente da corrente sanguínea cerca de uma hora e vão para os hepatócitos onde ocorre o ciclo de reprodução. Os esporozoítos dividem-se e formam uma célula gigante multinucleada que se divide em várias células – merozoítos – e acaba por romper e lesar o hepatócito. Depois, esses merozoítos voltam a entrar em novos hepatócitos e o processo se repete. Isto corresponde a uma fase de incubação duas a quatro semanas em média na qual o doente não apresenta sintomas e que varia de espécie para espécie sete a dez dias para o P. falciparum e dez a dezessete dias para o P. ovale e P. vivax. Alguns destes merozoítos, em vez de entrarem para os hepatócitos, vão para a corrente sanguínea e parasitam os eritrócitos. Passamos a ter trofozoítos em forma de anel de sinete. Este trofozoíto inicial vai amadurecer e vai sofrer processo de reprodução semelhante ao que ocorreu nos hepatócitos. Passamos a ter, então, uma célula gigante multinucleada que se divide nos tais merozoítos e que acabam por romper e lesar os eritrócitos. Estes merozoítos vão entrar em novos eritrócitos e o ciclo se repete. Nas infecções por P. vivax e P. ovale, alguns trofozoítos ficam em estado de latência no hepatócito. São, por isso, denominados hipnozoítos do grego hipnos sono. Esses hipnozoítos são responsáveis pelas recaídas da doença, que ocorrem após períodos variáveis de incubação geralmente dentro de seis meses. Alguns dos trofozoítos não entram para os eritrócitos e sofrem diferenciação em gametócitos. O mosquito quando pica alguém infectado com malária aspira sangue contendo gametócitos. Ao nível do seu intestino vai se realizar a fusão entre o macrogâmeta masculino e o microgâmeta feminino e inicia-se o ciclo sexuado do parasita no interior do mosquito, ou seja, o mosquito é o hospedeiro definitivo e o humano é apenas um hospedeiro intermediário. É da lise dos eritrócitos que provém a maioria dos sintomas da malária e que corresponde as fases de crise febre, arrepios, tremores, mialgias intensas, mal-estar geral que dura entre 15 minutos a 1 hora. DIAGNÓSTICO Baseia-se no encontro de parasitos no sangue. O método mais utilizado é o da microscopia da gota espessa de sangue, colhida por punção digital e corada pelo método de Walker. O exame cuidadoso da lâmina é considerado o padrão-ouro para a detecção e identificação dos parasitos da malária. É possível detectar densidades baixas de parasitos 5-10 parasitos por μl de sangue, quando o exame é feito por profissional experiente. O exame da gota espessa permite diferenciação das espécies de Plasmodium e do estágio de evolução do parasito circulante. Pode-se ainda calcular a densidade da parasitemia em relação aos campos microscópicos examinados. A gota espessa também é utilizada para controle de tratamento. Os métodos moleculares rápidos são ferramentas importantes para o diagnóstico, porém não estão disponíveis em nosso país para a abordagem inicial. QUADRO CLÍNICO O quadro clínico típico é caracterizado por febre alta, acompanhada de calafrios, sudorese profusa e cefaleia, que ocorrem em padrões cíclicos. Inicialmente apresenta-se o período de infecção, que corresponde à fase sintomática inicial, caracterizada por mal-estar, cansaço e mialgia. O ataque paroxístico inicia-se com calafrio, acompanhado de tremor generalizado, com duração de quinze minutos a uma hora. Na fase febril, a temperatura pode atingir 41°C. Esta fase pode ser acompanhada de cefaleia, náuseas e vômitos. É seguida de sudorese intensa. Contudo, novos episódios de febre podem acontecer em um mesmo dia ou com intervalos variáveis, caracterizando um estado de febre intermitente. O período toxêmico ocorre se o paciente não receber terapêutica específica, adequada e oportuna. Os sinais e sintomas podem evoluir para formas graves e complicadas dependendo da resposta imunológica do organismo, aumento da parasitemia e espécie do plasmódio. MALÁRIA NÃO COMPLICADA O período de incubação da malária varia de sete a catorze dias, podendo, contudo, chegar a vários meses em condições especiais, no caso de P. vivax e P. malariae. A crise aguda da malária caracteriza-se por episódios de calafrios, febre e sudorese. Têm duração variável de seis a doze horas e pode cursar com temperatura igual ou superior a 40oC. Em geral, esses paroxismos são acompanhados por cefaleeia, mialgia, náuseas e vômitos. Após os primeiros paroxismos, a febre pode passar a ser intermitente. O quadro clínico da malária pode ser leve, moderado ou grave, na dependência da espécie do parasito, da quantidade de parasitos circulantes, do tempo de doença e do nível de imunidade adquirida pelo paciente. As gestantes, crianças e primoinfectados estão sujeitos a maior gravidade, principalmente por infecções pelo P. falciparum, que podem ser letais. O diagnóstico precoce e o tratamento correto e oportuno são os meios mais adequados para reduzir a gravidade e a letalidade por malária. Pela inespecificidade dos sinais e sintomas provocados pelo Plasmodium, o diagnóstico clínico da malária não é preciso, pois outras doenças febris agudas podem apresentar sinais e sintomas semelhantes, tais como a dengue, a febre amarela, a leptospirose, a febre tifóide e muitas outras. Dessa forma, a tomada de decisão de tratar um paciente por malária deve ser baseada na confirmação laboratorial da doença, pela microscopia da gota espessa de sangue ou por testes rápidos imunocromatográficos. MALÁRIA GRAVE E COMPLICADA Para o diagnóstico de malária grave, algumas características clínicas e laboratoriais devem ser observadas atentamente vide tabela abaixo. Se presentes, conduzir o paciente de acordo com as orientações para tratamento da malária grave. Geralmente causada pelo plasmodium falciparum . O maior fator responsável pela gravidade da malária é o bloqueio microvascular, devido ao sequestro de hemácias parasitadas nos capilares de órgãos como cérebro, rins, pulmão, placenta . Este fenômeno é somente encontrado malária por P. falciparum. A maior adesão das hemácias parasitadas às células endoteliais dos capilares e vênulas fazem que essas comecem a se aderir umas às outras, formando “rosetas” hemácias não parasitadas em volta de hemácias parasitadas. A obstrução microcirculatória é um dos fatores que ajuda a explicar a malária cerebral, renal e as manifestações pulmonares. As principais alterações clínico-patológicas presentes na malária grave Acometimento do SNC malária cerebral A malária cerebral ocorre com uma frequência variável, atingindo 0,1% a 16% dos pacientes. É uma apresentação clínica relativamente comum da malária grave e a principal causa de óbito, com uma letalidade de 10% a 50%. É definida pela presença de coma ou convulsões em indivíduos infectados por P. falciparum que não apresentem outra etiologia de encefalopatia. Anemia grave WTrata-se de uma manifestação frequente e precoce da malária, a qual ocorre devido a múltiplos fatores, incluindo destruição ou sequestro dos eritrócitos, alteração da eritropoese e perda sanguínea decorrente de eventual coagulopatia. Temos maior parasitemia na malária por P. falciparum. Insuficiência renal Nas infecções causadas pelo P. falciparum as alterações tubulares são mais proeminentes do que as glomerulares, podendo variar desde um acometimento de pequena monta até necrose tubular aguda e insuficiência renal aguda IRA, frequentemente oligúrica e hipercatabólica. A IRA é uma complicação frequente e séria da malária por P. falciparum em crianças e adultos não imunes. Disfunção pulmonar Ocorre com uma incidência de 3% a 10% nas infecções causadas por P. falciparum, com letalidade próxima a 70%. O primeiro sinal de disfunção pulmonar é o aumento da frequência respiratória, o qual habitualmente precede as alterações radiográficas. A apresentação mais grave é a síndrome do desconforto respiratório agudo SDRA, a qual se caracteriza por lesão endotelial difusa e aumento da permeabilidade capilar, manifestandose em poucos dias no curso da doença. Coagulação intravascular disseminada A infecção pelo P. falciparum está geralmente associada com um estado procoagulante caracterizado por trombocitopenia e ativação da cascata de coagulação e sistema fibrinolítico; no entanto, a ocorrência de eventos hemorrágicos é incomum. Acidose metabólica lática Disfunção hepática TRATAMENTO O tratamento tradicional da malária visa atingir o parasita em pontos-chave de seu ciclo evolutivo, os quais podem ser resumidos em interrupção ruptura dos eritrócitos, responsável pela doença e manifestações clínicas da infecção; destruição de formas latentes do parasita das espécies P .vivax e P. ovale, os quais ficam em estado de latência nos hepatócitos, evitando assim as recaídas tardias; interrupção da transmissão do parasito, pelo uso de drogas que impedem o desenvolvimento de formas sexuadas dos parasitas gametócitos. Para atingir esses objetivos, diversas drogas são utilizadas, cada uma delas agindo de forma específica, tentando impedir o desenvolvimento do parasita no hospedeiro. A droga utilizada depende da espécie do parasita, da gravidade da doença e da pessoa infectada. As mais utilizadas no tratamento convencional são cloroquina e mefloquina, sendo que se sabe que o Plasmodium falciparum já desenvolveu resistência a ambos os medicamentos. Devido à resistência do parasita desenvolvida em relação às drogas tradicionais, e a partir de um programa de desenvolvimento de novos fármacos aplicado na China e iniciado em 1956, tem-se estudado uma nova droga, a artemisinina, hoje utilizado para o tratamento do P. falciparum e malária grave. A decisão de como tratar o paciente com malária deve ser precedida de informações sobre os seguintes aspectos espécie de plasmódio infectante, pela especificidade dos esquemas terapêuticos a serem utilizados; idade do paciente, pela maior toxicidade para crianças e idosos; história de exposição anterior à infecção uma vez que indivíduos primoinfectados tendem a apresentar formas mais graves da doença; condições associadas, tais como gravidez e outros problemas de saúde; gravidade da doença, pela necessidade de hospitalização e de tratamento com esquemas especiais de antimaláricos. Tratamento das infecções pelo P. vivax ou P. ovale com cloroquina em três dias e primaquina em sete dias esquema curto Plasmodium falciparum sem critérios de gravidade combinação fixa de artemeter+lumefantrina em três dias. MALÁRIA GRAVE Qualquer paciente portador de exame positivo para malária falciparum, que apresente um dos sinais e/ ou sintomas relacionados a gravidade deve ser considerado portador de malária grave e complicada. O tratamento deve ser orientado, de preferência em unidade hospitalar. Nesses casos, o principal objetivo é reduzir a morbimortalidade. Para isso, antimaláricos potentes e de ação rápida devem ser administrados, juntamente com todas as medidas de suporte à vida do paciente. Secundariamente, após evidência de melhora das complicações da malária grave, deve-se preocupar com a prevenção de recrudescência, da transmissão ou da emergência de resistência. A malária grave deve ser considerada uma emergência médica. Portanto, a permeabilidade das vias aéreas deve estar garantida e os parâmetros da respiração e circulação avaliados. A associação de Artesunato endovenoso e clindamicina é a opção para tratamento dessas formas graves. PREVENÇÃO QUIMIOPROFILAXIA Não há vacina contra a malária. A prevenção se dá pelo uso de medidas de proteção contra infecção transmitida por insetos. Uma medida de prevenção da malária é a quimioprofilaxia QPX, que consiste no uso de drogas antimaláricas em doses subterapêuticas, a fim de reduzir formas clínicas graves e o óbito devido à infecção por P. falciparum. A quimioprofilaxia deve ser reservada para situações específicas, na qual o risco de adoecer de malária grave por P. falciparum for superior ao risco de eventos adversos graves relacionados ao uso das drogas quimioprofiláticas. No Brasil, onde a malária tem baixa incidência e há predomínio de P. vivax em toda a área endêmica, deve-se lembrar que a eficácia da profilaxia para essa espécie de Plasmodium é baixa. Assim, pela ampla distribuição da rede de diagnóstico e tratamento para malária, não se indica a QPX para viajantes em território nacional. As medidas de proteção individual passam a ser as medidas mais importantes na orientação aos viajantes PROTEÇÃO CONTRA PICADAS DE INSETOS Informação sobre o horário de maior atividade de mosquitos vetores de malária, ao pôr do sol e ao amanhecer. Uso de roupas claras e com manga longa, durante atividades de exposição elevada. Uso de medidas de barreira, tais como telas nas portas e janelas, ar-condicionado e uso de mosquiteiro impregnado com piretroides. Uso de repelente à base de DEET N-N-dietilmetatoluamida que deve ser aplicado nas áreas expostas da pele seguindo a orientação do fabricante. Em crianças menores de dois anos não é recomendado o uso de repelente sem orientação médica. Para crianças entre dois e doze anos usar concentrações até 10% de DEET, no máximo três vezes ao dia, evitando-se o uso prolongado. LEPTOSPIROSE INTRODUÇÃO Doença infecciosa febril, que pode variar desde formas assintomáticas e subclínicas até quadros clínicos graves associados a manifestações hemorrágicas com vasculite Síndrome de Weil. As apresentações clínicas da leptospirose também podem ser categorizadas considerando as fases evolutivas da doença fase precoce fase leptospirêmica e fase tardia fase imune. É uma doença de importância mundial sendo transmitida pelo contato com a urina de animais/ água contaminada com leptospiras patogênicas. Muitos animais podem ser considerados reservatórios para a espiroqueta, sendo que no meio urbano o rato é considerado o principal responsável pela perpetuação dos casos. A leptospirose é um importante problema de saúde pública em nosso país e em outras regiões tropicais do globo, endemicidade mantida pela ausência de condições adequadas de saneamento básico e pelas altas taxas de infestação dos roedores. Em países desenvolvidos, os casos da doença estão na maior parte das vezes associados a exposição acidental ocupacional, ecoturismo, catástrofes naturais. O tratamento de escolha continua sendo as tetraciclinas e os beta-lactâmicos. O sequenciamento do genoma de uma das espécies de leptospira foi finalizado propiciando boas perspectivas para estudos futuros sobre a doença. TRANSMISSÃO E EPIDEMIOLOGIA A leptospirose é zoonose de distribuição mundial. A infecção humana pode ocorrer através de contato direto com animais infectados ou mais comumente via contato indireto com água ou solo contaminado com urina de roedores e outros animais que apresentem leptospirúria. Contato pessoa a pessoa é muito raro. Em muitos animais, a leptospira pode sobreviver durante longos períodos nos túbulos renais de animais infectados sem causar doença. A maior parte das infecções humanas ocorre em homens adultos, jovens e crianças resultado da exposição ocupacional ou a ambientes favoráveis enchentes. Estudos epidemiológicos indicam que a infecção está comumente associada a certas profissões como fazendeiros, veterinários, lixeiros, lavradores entre outras. A doença também pode ser transmitida durante atividades recreacionais como rafting, camping e natação. A transmissão acidental em laboratório pode ocorrer e a mordedura de ratos, pode, ocasionalmente ser responsável pela transmissão. A via transplacentária pode ocorrer no homem e nos animais. O número de casos humanos pode ter variação nos períodos do ano e é maior nos meses com maiores índices pluviométricos, sendo que em áreas urbanas, o maior contato com o microrganismo se relaciona principalmente a enchentes e inundações. No Brasil, como em outros países em desenvolvimento, a maioria das infecções ocorre através do contato com águas de enchentes contaminadas por urina de ratos. Nesses países, a ineficácia ou inexistência de rede de esgoto e drenagem de águas pluviais, a coleta de lixo inadequada e as consequentes inundações são condições favoráveis à alta endemicidade e às epidemias. Surtos de leptospirose em várias cidades brasileiras foram atribuídos à ocorrência de chuvas fortes. A doença atinge, portanto, principalmente a população de baixo nível socioeconômico da periferia das grandes cidades, que é obrigada a viver em condições que tornam inevitável o contato com roedores e águas contaminadas. Em países mais desenvolvidos, com infraestrutura de saneamento mais adequada, a população está menos exposta à infecção. É mais comum que a infecção ocorra a partir de animais de estimação e em pessoas que se expõem à água contaminada, em razão de atividades recreativas ou profissionais. No Brasil, entre 1996 e 2005, foram notificados casos de leptospirose. Apenas os casos mais graves ictéricos são, geralmente, diagnosticados e, eventualmente, notificados, provavelmente representam apenas uma pequena parcela cerca de 10% do número real de casos no Brasil. Os principais padrões epidemiológicos da leptospirose encontrados no Brasil são Doença de distribuição endêmica no país, com ocorrência durante todos os meses do ano e com coeficiente médio de incidência anual de 1,9/ habitantes. Epidemias urbanas anuais, principalmente em comunidades carentes, pós-enchentes e inundações, onde se encontra a maioria dos casos anuais detectados. Surtos em áreas rurais, ainda pouco detectados pelos sistemas de vigilância. Surtos relacionados à ocorrência de desastres naturais de grande magnitude. Em nosso país o sorovar predominante é o icterohaemorrhagiae, muito embora o sorvar copenhageni também do sorogrupo icterohaemorrhagiae venha demonstrando ser um dos predominantes. ETIOLOGIA A doença é provocada por uma bactéria espiroqueta. Essas bactérias são microrganismos espiralados, com aproximadamente 0,1μm de diâmetro, seu comprimento varia de 6-12 μm, são aeróbicos obrigatórios, possuem um flagelo que é responsável por sua ágil locomoção. As leptospiras pertencem à ordem Spirochaetales e família Leptospiraceae. São cultivadas em meios especiais, de preferência, contendo soro, pois são extremamente frágeis, morrendo facilmente. O genoma de algumas espécies foi recentemente descrito. O agente é sensível à luz solar direta, aos desinfetantes comuns, à dessecação, às variações de pH e a temperaturas superiores a 40ºC. Todavia, pode sobreviver por vários dias em água comprovadamente por até 180 dias com pH neutro 7,2 a 7,4 e em solos com alta saturação de água, demonstrando sua preferência por locais úmidos. Sobrevivem também ao frio e mesmo ao congelamento – 100 dias a 20ºC negativos. A gênero Leptospira pode ser dividido em duas espécies Leptospira interrogans que engloba todos os tipos patogênicos e a Leptospira biflexa que contém todas as subespécies não patogênicas isoladas do meio ambiente. A doença tem sido descrita como uma zoonose que afeta muitas espécies de animais selvagens e domésticos como roedores, suínos, ovinos, caprinos, cães e gatos. Os hospedeiros mais frequentes são os ratos, especialmente o roedor do ambiente urbano Ratos novergicus. Em todas as espécies que são reservatórios as bactérias persistem indefinidamente nos túbulos renais sem causar doença nos animais e são eliminadas constantemente na urina. PATOGENIA Após penetrarem pela pele e mucosas, as leptospiras atingem a corrente sanguínea e rapidamente podem alcançar qualquer localização do organismo, com destaque para fígado, rins, coração e pulmão. Podemos considerar a leptospirose como uma vasculite multissistêmica. Os mecanismos patogênicos da leptospira podem ser divididos naqueles causados por lesão direta do agente e pelo outros causados pela resposta imunológica do hospedeiro. Um mecanismo importante de virulência é a motilidade dessa espiroqueta o que a permite realizar a infecção inicial e a disseminação para os órgãos de maior lesão tecidual. A infecção experimental em modelos animais nos mostra uma grande variedade de manifestações clínicas a depender do modelo animal utilizado, virulência das cepas utilizadas e da dose antigênica inoculada. Estudos em animais infectados e achados de necropsia de pacientes com a forma mais grave Weil mostram uma doença multissistêmica com acometimento hepático, pulmonar e renal. A patologia do rim e do fígado nos mostra um grande número de leptospiras nessas topografias e uma exuberante resposta inflamatória. Achados semelhantes são descritos no parênquima pulmonar de pacientes com hemorragia alveolar. A resposta inflamatória exuberante sugere que temos uma série de mediadores inflamatórios da espiroqueta e do hospedeiro envolvidos na patogenia. CLÍNICA As manifestações clínicas são variáveis dependendo do sorovar envolvido. Alguns deles são nitidamente implicados nas formas de apresentação clínica de maior gravidade. O período de incubação pode variar de três a catorze dias, com extremos de três a quatro semanas. A leptospirose segue usualmente uma evolução bifásica sendo o primeiro momento o chamado período de leptospiremia com duração de três a quatro dias. Segue-se um período de defervescência que dura de um a dois dias seguido de um período com recrudescência da febre e dos sintomas que pode durar de quatro a trinta dias, chamado de segundo período ou fase imune da leptospirose. A maior parte dos casos da doença se apresentam nas formas assintomática e oligossintomática com muita semelhança clinica a episódios virais. FORMA ANICTÉRICA Essa forma representa muitos dos casos e tem uma evolução benigna sem grandes complicações para o hospedeiro. Os sintomas se iniciam abruptamente com febre, comumente acompanhada de cefaleia e mialgia, anorexia, náuseas e vômitos. Podem ocorrer diarreia, artralgia, hiperemia ou hemorragia conjuntival, fotofobia, dor ocular e tosse. Pode ser acompanhada de exantema e frequentemente, não pode ser diferenciada de outras causas de doenças febris agudas. Esta fase tende a ser autolimitada e regride em três a sete dias, sem deixar sequelas. Todos esses sintomas correspondem a dita fase de leptospiremia e são autolimitados. É comum a mialgia de grande grupos musculares, principalmente na musculatura da panturrilha e paravertebral. Quando a febre desaparece, inicia-se após um a dois dias a fase imune que se caracteriza por recrudescimento da febre, porém com baixa intensidade e aparecimento de sinais e sintomas de localização em diversos órgãos. É nesta fase que temos a produção de anticorpos específicos. Raramente, nessa fase, encontramos a leptospira no sangue. As principais manifestações nessa fase nas formas anictéricas é a meningite, caracterizada por cefaleia intensa, vômitos e sinais de irritação meníngea. As manifestações clínicas e liquóricas são semelhantes a de uma meningite viral. Em alguns casos , mais tardiamente o paciente pode evoluir com comprometimento ocular uveíte. FORMA ICTÉRICA OU SÍNDROME DE WEIL Aproximadamente 15% dos pacientes evoluem para manifestações clínicas graves iniciando-se, em geral, após a primeira semana de doença. A manifestação clássica da leptospirose grave é a síndrome de Weil, caracterizada pela tríade de icterícia, insuficiência renal e hemorragias, mais comumente pulmonar, descrita por um alemão no começo do século. Nessa forma ictérica as fases de leptospiremia e imune em geral não apresentam o curso bifásico. Os sintomas descritos para a forma anictérica são mais intensos e com maior duração. Esta apresentação clínica cursa com letalidade superior a 50%. A icterícia é um sinal característico, possuindo uma tonalidade alaranjada muito intensa icterícia rubínica e geralmente aparece entre o terceiro e o sétimo dia da doença. É um preditor de pior prognóstico, devido a sua associação com a Síndrome de Weil. A icterícia é intensa e os níveis de bilirrubinas podem atingir valores muito altos, acima de 15 mg/ml. A icterícia é decorrente da alteração do aparelho excretor biliar pela presença da leptospira no parênquima hepático, as custas da fração direta. Os fenômenos hemorrágicos são frequentes na Síndrome de Weil. Quase 50% dos pacientes apresentam sangramento de pele e mucosas, como petéquias e equimoses. Todavia, o sangramento pulmonar é a principal topografia de gravidade para esses pacientes. Não ocorre coagulação intravascular disseminada na leptospirose. A elevação do fibrinogênio e a plaquetopenia podem auxiliar nestes fenômenos. Os pacientes podem apresentar comprometimento pulmonar importante caracterizado por tosse seca, dispneia, expectoração hemoptoica e, ocasionalmente, dor torácica e cianose. Temos uma pneumonite intersticial grave com achados radiológicos com infiltrados difusos. A hemoptise maciça denota gravidade e pode ocorrer de forma súbita, levando a insuficiência respiratória – síndrome da hemorragia pulmonar aguda e síndrome da angústia respiratória aguda SARA – e óbito. Devemos ter uma forte suspeição para a forma pulmonar grave em pacientes que apresentem febre e sinais de insuficiência respiratória, independentemente da presença de hemoptise. Pode ocorrer síndrome da angustia respiratória aguda na ausência de sangramento pulmonar. Além disso, outros tipos de diátese hemorrágica frequentemente se associam com trombocitopenia. O hemorragia alveolar é a principal causa de mortalidade nos pacientes com síndrome de Weil. A insuficiência renal aguda é uma das grandes complicação da fase tardia caracterizada geralmente por ser não oligúrica e hipocalêmica nas fases iniciais, devido à inibição de reabsorção de sódio nos túbulos renais proximais, aumento no aporte distal de sódio e consequente perda de potássio. Com a perda progressiva do volume intravascular, os pacientes desenvolvem insuficiência renal oligúrica, devido à azotemia pré-renal. Essas alterações hemodinâmicas podem piorar a função renal. Nesse estágio, podem apresentar hiperpotassemia e os pacientes podem desenvolver necrose tubular aguda, necessitando o início imediato de diálise para tratamento da insuficiência renal aguda. A diálise precoce tem grande impacto na mortalidade, sendo medida fundamental no manejo das formas graves da doença. Durante muitos anos essa foi a principal causa de mortalidade na leptospirose. Outras manifestações frequentes na forma grave da leptospirose são miocardite, acompanhada ou não de choque e arritmias agravadas por distúrbios eletrolíticos; pancreatite; anemia e distúrbios neurológicos como confusão, delírio, alucinações e sinais de irritação meníngea. A leptospirose é causa relativamente frequente de meningite asséptica. Com menor frequência ocorrem encefalite, paralisias focais, espasticidade, nistagmo, convulsões, distúrbios visuais de origem central, neurite periférica, paralisia de nervos cranianos, radiculite, Síndrome de Guillain-Barré e mielite. DIAGNÓSTICO O clínico deve suspeitar da doença quando o paciente tiver elementos epidemiológicos compatíveis contato, exposição ocupacional, inundações e clinica sugestiva febre, mialgia, icterícia e fenômenos hemorrágicos. Todos os casos suspeitos devem ser notificados a vigilância epidemiológica. A suspeita clínica deve ser confirmada por métodos laboratoriais específicos. Na fase precoce, as leptospiras podem ser visualizadas no sangue por meio de exame direto, de cultura em meios apropriados, inoculação em animais de laboratório ou detecção do DNA do microrganismo, pela técnica da reação em cadeia da polimerase PCR. A cultura garante apenas um diagnóstico retrospectivo. Na fase tardia, as leptospiras podem ser encontradas na urina, podendo ser cultivadas ou inoculadas. Tanto a cultura, quanto a pesquisa direta são exames pouco empregados nos dias atuais para o diagnóstico da doença. Na rotina, os métodos sorológicos são consagradamente eleitos para o diagnóstico da leptospirose. Os mais utilizados no país são o teste ELISA-IgM e a microaglutinação MAT, o SAT macroaglutinação. Os anticorpos IgM são produzidos no curso inicial da infecção e esse exame revelou especificidade e sensibilidade elevadas sendo o método de eleição para o diagnóstico da doença nos dias atuais. Muitos exames laboratoriais podem ajudar no diagnóstico e são de grande importância já que os resultados de exames específicos podem demorar. Os exames de rotina como hemograma e bioquímica ureia, creatinina, bilirrubina total e frações, TGO, TGP, gama-GT, fosfatase alcalina e CPK, Na+ e K+, devem ser solicitados. Se necessário, solicitar radiografia de tórax, eletrocardiograma ECG e gasometria arterial. Nas fases iniciais da doença, as alterações laboratoriais podem ser inespecíficas. Na fase tardia da doença as alterações mais comuns são elevação das bilirrubinas totais com predomínio da fração direta, plaquetopenia, leucocitose, neutrofilia e desvio à esquerda, gasometria arterial sugestivo de acidose metabólica e hipoxemia, ureia e creatinina elevadas, potássio sérico normal ou diminuído, mesmo na vigência de insuficiência renal aguda potássio elevado pode ser visto ocasionalmente e, nesse caso, indica pior prognóstico; creatinoquinase CPK elevada; transaminases normais ou elevadas, podendo estar a TGO AST mais elevada que a TGP ALT, porém sem aumento significativo nos níveis de transaminases, anemia normocrômica, destacando-se que a observação de queda nos níveis de Hb e Ht durante exames seriados; fosfatase alcalina FA e gama glutamiltransferase GGT normais ou elevadas, atividade de protrombina AP diminuída ou tempo de protrombina TP aumentado ou normal, baixa densidade urinária, proteinúria, hematúria microscópica e leucocitúria são frequentes no exame sumário de urina; líquor com pleiocitose linfomonocitária ou neutrofílica moderada abaixo de células/mm3, comum na segunda semana da doença, mesmo na ausência clínica da evidência de envolvimento meníngeo; pode haver predomínio de neutrófilos, gerando confusão com meningite bacteriana inespecífica, radiografia de tórax infiltrado alveolar ou lobar, bilateral ou unilateral, congestão e SARA. Alterações cardíacas a exemplo de fibrilação atrial, bloqueio atrioventricular e alteração da repolarização ventricular podem ser identificadas através de eletrocardiograma. A leptospirose na sua forma ictérica está associada a aumentos séricos de bilirrubina direta, que pode ser diferenciada de hepatites virais pelos achados de aumento nos níveis de CPK, leve a moderada elevação de aminotransaminases < 200 U/L e leucocitose com desvio à esquerda. DIAGNÓSTICO DIFERENCIAL Considerando-se que a keptospirose tem um amplo espectro clínico, os principais diagnósticos diferenciais são FASE PRECOCE Dengue, influenza síndrome gripal, malária, riquetsioses, doença de Chagas aguda, toxoplasmose, febre tifoide, entre outras doenças. FASE TARDIA Hepatites virais agudas, hantavirose, febre amarela, malária grave, dengue hemorrágico, febre tifoide, endocardite, riquetsioses, doença de Chagas aguda, pneumonias, pielonefrite aguda, apendicite aguda, sepse, meningites, colangite, colecistite aguda, coledocolitíase, esteatose aguda da gravidez, síndrome hepatorrenal, síndrome hemolítico-urêmica, outras vasculites, incluindo lúpus eritematoso sistêmico, dentre outras. ABORDAGEM INICIAL E TRATAMENTO SUSPEITA CLÍNICA A abordagem do paciente com suspeita de leptospirose deve seguir uma rotina de anamnese e exame físico. CASO SUSPEITO DE LEPTOSPIROSE Indivíduo com febre, cefaleia e mialgia, que apresente pelo menos um dos seguintes critérios Critério 1 antecedentes epidemiológicos sugestivos nos trinta dias anteriores a data de início dos sintomas exposição a enchentes, alagamentos, lama ou coleções hídricas; exposição a esgoto, fossas, lixo e entulho; atividades que envolvam risco ocupacional como coleta de lixo e de material parareciclagem, limpeza de córregos, trabalho em água ou esgoto, manejo de animais, agricultura em áreas alagadas; vínculo epidemiológico com um caso confirmado por critério laboratorial; residir ou trabalhar em áreas de risco para a leptospirose Áreas de risco áreas determinadas pela Vigilância Epidemiológica a partir da análise da distribuição espacial e temporal de casos de leptospirose, bem como dos fatores de risco envolvidos. Critério 2 pelo menos um dos seguintes sinais ou sintomas sufusão conjuntival; sinais de insuficiência renal aguda incluindo alterações no volume urinário; icterícia e/ou aumento de bilirrubinas; fenômeno hemorrágico. ANAMNESE A história clínica deve ser a mais detalhada possível e os itens a seguir devem constar em prontuário. Cronologia de sinais e sintomas registrar a data do atendimento e os sinais e sintomas apresentados pelo paciente desde o início do quadro clínico. Registrar dados referentes a atendimento ou hospitalização anterior recente, incluindo as datas de início dos sintomas, de atendimento e/ou internação. Pesquisa de sinais de alerta são de grande auxílio ao profissional de saúde no momento da decisão sobre a necessidade de internação do paciente e devem ser investigados ativamente durante a anamnese e exame físico. Epidemiologia Perguntar sobre antecedentes epidemiológicos sugestivos da doença ver no tópico definição de caso nos últimos trinta dias anteriores ao início dos sintomas, com especial atenção à situação de risco e à ocupação do paciente, registrando a data e o endereço do local provável de infecção e a ocorrência de casos anteriores de leptospirose humana ou animal. EXAME FÍSICO Exame físico geral sinais vitais PA, FC, FR e temperatura; observar o estado de hidratação; observar sangramentos; avaliar diurese; avaliar o nível de consciência; investigar a presença de icterícia. Dependendo da gravidade do caso, os sinais vitais deverão ser monitorados a cada 3 horas. TRATAMENTO da malária O tratamento com antibióticos ainda é controverso. Temos uma grande dificuldade na realização de estudos terapêuticos bem controlados comparando uso de antibióticos versus placebo na leptospirose. Inúmeros antimicrobianos tem ação contra a espiroqueta como a penicilina, ampicilina, cefalosporinas e tetraciclinas. Apesar da ausência de trabalhos bem conduzidos, a maioria dos estudos concorda com a administração de antibióticos podendo ter alguma eficácia quando iniciada até o quarto ou quinto dia após o início dos sintomas. A penicilina cristalina , doxiciclina e tetraciclina são os mais utilizados. As medidas de suporte são de maior importância no manejo da doença. Reposição hidroeletrolítica deve ser precoce e agressiva, assistência cardiorrespiratória, transfusões de sangue e derivados, nutrição enteral ou parenteral, proteção gástrica. O acompanhamento do volume urinário e da função renal é fundamental para se indicar a instalação de diálise peritoneal precoce, o que reduz o dano renal e a letalidade da doença. A hemodiálise pode ser empregada em locais onde houver disponibilidade para casos que não respondem ou que não podem ser dialisados por via peritoneal. A diálise precoce é uma das principais condutas no manejo e prognóstico. Outro elemento importante é o suporte das alterações pulmonares. A pressão de oxigênio deve ser mantida alta, nos mesmos moldes utilizados no tratamento da síndrome do desconforto respiratório. Nessas situações é mandatória a monitorização hemodinâmica. PREVENÇÃO E CONTROLE CONTROLE DA POPULAÇÃO DE ROEDORES Através de medidas de antirratização, que consiste na modificação das características ambientais que favorecem a penetração, a instalação e a livre proliferação de roedores, por meio da eliminação dos fatores que propiciem o acesso desses animais a alimento, água e abrigo e desratização. Outra alternativa é a desratização, que visa à eliminação direta dos roedores através de métodos mecânicos ratoeiras e químicos raticidas. Outras ações que podem ser realizadas em situações especiais são listadas a seguir segregação e tratamento de animais domésticos infectados e/ou doentes e proteção de áreas humanas de moradia, trabalho e lazer da contaminação pela urina desses animais, imunização de animais domésticos e de produção caninos, bovinos e suínos, através do uso de vacinas preparadas com os sorovares prevalentes na região, cuidados com a higiene, remoção e destino adequado de excretas de animais e desinfecção permanente dos canis ou locais de criação. YeA1QZl.